Kisah Bapakku dan konco-konconya:
Bukan . . . Bukan Maling
Malam itu langit Malang cukup cerah. Televisi belum mengunci orang-orang di rumah mereka -- jaman itu memang belum ada televisi. Di perempatan antara jalan Duwet dan Taman Gayam, sekelompok arek Taman Gayam ngumpul dan ngobrol, hal yang biasa mereka lakukan walaupun bukan hari libur.
Ketika jam telah lewat tengah malam, entah siapa yang memberi ide, kelompok arek-arek Taman Gayam itu mulai beraksi, mengendap, dan memanjat pohon kelengkeng di rumah seorang cewek Taman Gayam, Rince, di ujung jalan Duwet dekat perempatan dengan jalan Kepundung. Ketika dua orang pasukan komando tengah ganas memetik kelengkeng, tiba-tiba yang punya rumah membuka pintu depan. Spontan dua pasukan komando yang ada di pohon loncat ke bawah dan lari; begitu juga teman-teman lain yang menunggu di bawah. Pemilik rumah, tak mengejar, tapi berteriak kencang: "Maliiiing . . . maliiiing". Yang diteriaki pun makin terbirit. Toh, mereka sempat balas berteriak:"Bukaaaan . . . bukaan maling . . . bukaaan maling". Sekelompok tukang becak yang sedang mangkal di perempatan Duwet dan Kepundung, yang semula memang ragu-ragu untuk menangkap pencuri kelengkeng tadi, spontan tertawa terbahak-bahak dan membiarkan para maling kecil meluncur bersembunyi di kebon singkong jalan Kepundung.
Itu ceritera bapakku tentang kehidupan di Taman Gayam tempo dulu (Artanti - eks Jalan Mundu).